Kamis, 29 Januari 2015
Hikmah di Balik Larangan Berbohong
Hikmah di Balik Larangan Berbohong
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, ada
seseorang menemui Rasulullah saw. Maksud kedatangannya adalah untuk
mengikrarkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau. Selesai melafalkan
syahadat, orang
ini mengeluh.
“Ya Rasulullah, saya ini sudah terbiasa
berbuat dosa. Berzina sudah menjadi kesenangan, berjudi merupakan kebiasaan,
dan mabuk menjadi keseharian. Terkadang, saya juga suka mencuri, terutama kalau
ada kesempatan.”
“Lalu, apa yang kamu mau?.”
“Saya mohon keringanan.”
“Keringanan dalam hal apa?.”
“Saya sanggup memenuhi kewajiban sebagai
seorang Muslim. Hanya, saya mohon dibolehkan berzina, berjudi, mabuk-mabukan,
dan mencuri.”
“Kenapa kamu meminta keringanan seperti itu?.”
“Sudah lama saya ingin memeluk Islam. Tetapi
baru sekarang saya ikrarkan di hadapan Engkau. Pasalnya, saya susah
meninggalkan empat kebiasaan buruk tadi.”
“Begini saja, kamu boleh melakukan semua itu...”
“Benarkah?” tanya orang itu.
“Benar, asal kamu mau berjanji...”
“Sebutkan saja, saya harus berjanji apa?” tanya
orang itu bersemangat.
“Jangan berbohong!”
“Itu saja?”
Rasulullah saw mengiyakan.
“Wah , gampang sekali kalau hanya itu.
Baiklah, saya setuju. Demi Allah, saya berjanji tidak akan berbohong.” jawab
orang itu dengan senang hati.
Selanjutnya, orang itu berpamitan pulang ke
rumahnya dengan hati berbunga-bunga.
Ternyata
masuk Islam itu gampang. Saya mendapat dispensasi. Enak sekali, boleh berzina,
boleh berjudi, boleh mencuri dan boleh minum minuman keras. Perkara tidak
bohong itu gampang, kata orang itu
dalam hati.
Sampai dirumah, orang itu langsung merebahkan
diri sambil mengulum senyum kemenangan. Pikirannya melayang kemana-mana.
Pokonya, besok mau brzina, mau ini, dan itu. Banyak hal yang dia rencanakan.
Sampai akhirnya dia pun tertidur pulas.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, orang itu
sudah bangun. Selepas sarapan, dia keluar rumah. Kedua kakinya melenggang
dengan santai, yang dituju adalah rumah teman wanitanya untuk berzina.
Rumah si wanita tidak terlalu jauh. Tak lama,
orang itu sudah berada di halaman rumah si wanita. Namun, baru juga melangkah
beberapa langkah, orang itu berhenti. Dia mematung di depan pintu rumah si
wanita, kemudian teringat akan janjinya supaya tidak berbohong.
Ada satu hal yang membuat orang itu risau.
Bagaimana kalau dia bertemu dengan Rasulullah saw, lalu beliau bertanya,
“Apakah hari ini kamu berzina?” Kalau dijawab tidak, itu artinya dia berbohong. Hal ini jelas-jelas mengingkari
janji yang telah diikrarkan atas nama Allah dihadapan Rasulullah saw. Kalau
dijawab ya, berarti dia akan dikenai
hukuman dera seratus kali ditambah disaksikan banyak orang. Dia bergidik
membanyangkan hukuman seberat itu.
Setelah ditimbang-timbang, orang itu
mengurungkan niatnya untuk berzina. Hal serupa juga terjadi ketika dia hendak
berjudi, mencuri, dan meminum minuman keras. Semua batal dilakukannya.
Akhirnya, orang itu pulang dan semua niat
buruk batal dilakukan. Sesampai di rumah, dia merebahkan diri dan tidak ada
lagi senyum kemenangan tersungging di mulutnya. Malah, berkali-kali dia
terlihat bingung.
Orang itu merenung sambil menatap
langit-langit rumah dan terus berpikir. Akhirnya, dia sampai pada satu
kesimpulan bahwa Rasulullah saw sangat benar. Ungkapan jangan berbohong memang terbilang singkat. Namun, dibalik ungkapan
ini terkandung hikmah yang sangat dalam. Jangan
berbohong telah membuat orang itu terlepas dari perbuatan dosa.
Akhirnya, orang itu kini benar-benar berubah
menjadi seorang Muslim sejati yang menjalankan syariat Islam dengan konsisten
dan tidak berbohong.
Sumber : Al Farisi,
Mohamad Zaka. 2007. Like Father Like Son. Bandung : MQ Gress